Entah bagaimana aku menyambut hari esok,
Kurasa akan menjadi hari yang paling bersejarah di dalam hidupmu, sekaligus penuh sesal di atasku.
Laki-laki yang begitu mencintaimu dengan santun, akhirnya jatuh pada dia yang siap menjagamu dalam ikatan suci.
Aku seharusnya ikut berbahagia, seharusnya.
Pada dia yang menyempurnakan separuh agamamu
Esok adalah hari pernikahanmu, sayang.
Hal yang pernah kita mimpikan bersama.
Dan menyadari itu hatiku seperti dihujam dan tersayat dalam berbagai rupa
Ingin sepertinya malam ini kukecup keningmu dengan mesra, untuk yang terakhir kalinya, sebelum akhirnya kamu menjadi miliknya seutuhnya.
Aku rasa dia begitu menantikan saat itu, Bersamamu.
Ketika sang penghulu dan wali-mu mengucap “sah” atas ijab dan qabul yang terucap atas nama Tuhan, dan dia lah yang mengecup keningmu pertama sebagai seorang penanggungjawabmu selanjutnya
Yang menanggung suka dan duka atas masa depanmu
Dan dia yang kamu kecup tangannya dengan patuh sebagai imam-mu.
Dan malam ini aku menjadi laki-laki yang begitu dipenuhi ketidaksiapan menyaksikan cincin itu mengikat jarimu penuh cinta
Jari-jemari yang kemarin aku genggam begitu erat
Jari-jemari yang kemarin mengusap kepalaku ketika lelah
Jari-jemari yang kemarin sabar mencubitku ketika bercanda
Jari-jemari yang kemarin aku kecup penuh kasih
Dan semuanya harus (terpaksa) aku hentikan
Bukan aku tidak ingin melihatmu bahagia, bukan.
Yang menjadi kesesalanku adalah mengakui jika bukan aku lah yang menikahimu.
Aku rasa cinta yang aku punya tidak lah kalah besar dari dia yang kamu punya sekarang
Aku siap membahagiakanmu
Kelemahan serta kelalaianku lah yang mengakibatkan airmatamu menetes ratusan hari
Sampai akhirnya dia datang dan langsung meminangmu
Entah malaikat jenis apa yang membisikimu untuk menerimanya
Kamu tau, sayang?
Sampai saat kamu datang mengantar kabar pernikahanmu
Hatiku seperti tak di tempatnya
Pikiranku menangis
Duniaku gelap
Dan lidahku matirasa untuk mengucap selamat
Jika aku pernah tau penyesalan selalu datang belakangan ternyata aku belum cukup siap dihujani penyesalan yang begitu dalam
Dan esok,
Siap atau tidak siap, aku harus menyaksikan kamu bermanja dengannya di pelaminan.
Pernikahan adalah hal yang baik
Tapi ternyata ada saja hati yang tidak sepenuhnya menerima
Apa aku harus memelukmu seperti biasa saat kita dulu melepas rindu?
Atau aku harus hanya menjabat tanganmu seperti diawal perkenalan?
Atau aku harus membawa bunga kesayanganmu seperti saat kita baru saja selesai bertengkar?
Atau aku harus menampar wajahnya keras sebagai peringatan jika aku bisa saja menghajarnya lebih kuat andai dia bersikap buruk atasmu?
Aaah, rasa ini menyudutkan aku.
Rasanya seperti terlepas dari dunia sendiri
Jika saja aku bisa melewati hari pernikahanmu
Apa aku bisa menahan ketika berjumpa denganmu sedang bersamanya nantinya?
Padahal kamu tau,
Namamu lah yang aku minta pada Tuhan sebagai permaisuri di akhiratku
Namamu juga yang selalu aku selipkan di sekecil apapun Doaku
Pangkal dari segala akar semangatku
Tapi setelah ini, menatap matamu saja adalah hal yang terlarang bagiku.
Bagaimana mungkin aku bisa
Sementara kamu pernah menjadi mata ketika aku merasa gelap
Entah permainan macam apa yang digariskan
Jika akhirnnya namamu bukan bersanding denganku
Cerita kita belum selesai, sayang.
Sementara aku harus mengikhlaskanmu bukan untuk aku,
Melepasmu dalam sebuah pernikahan sembari mengakui aku lah yang kalah
Kini doaku harus ku perbaharui
Berbahagialah kamu bersamanya
Tunduk lah kepadanya selama dia taat pada Tuhanmu
Jagalah kehormatannya sebisa mungkin
Kamu lah perhiasannya
Tempatnya bercerita dan menumpahkan sepenuhnya cinta
Biar aku yang menyimpan ceritamu dalam perasaanku, biar lenyap dihabisi waktu.
Aku yang juga mencintaimu selain dia
Di dalamnya kamu masih kekasihku yang manja
Terimakasih jika kamu lah semangat terbesarku
Jika ternyata namamu bukan untukku
Setidaknya cintamu pernah tinggal di hatiku
Kurasa akan menjadi hari yang paling bersejarah di dalam hidupmu, sekaligus penuh sesal di atasku.
Laki-laki yang begitu mencintaimu dengan santun, akhirnya jatuh pada dia yang siap menjagamu dalam ikatan suci.
Aku seharusnya ikut berbahagia, seharusnya.
Pada dia yang menyempurnakan separuh agamamu
Esok adalah hari pernikahanmu, sayang.
Hal yang pernah kita mimpikan bersama.
Dan menyadari itu hatiku seperti dihujam dan tersayat dalam berbagai rupa
Ingin sepertinya malam ini kukecup keningmu dengan mesra, untuk yang terakhir kalinya, sebelum akhirnya kamu menjadi miliknya seutuhnya.
Aku rasa dia begitu menantikan saat itu, Bersamamu.
Ketika sang penghulu dan wali-mu mengucap “sah” atas ijab dan qabul yang terucap atas nama Tuhan, dan dia lah yang mengecup keningmu pertama sebagai seorang penanggungjawabmu selanjutnya
Yang menanggung suka dan duka atas masa depanmu
Dan dia yang kamu kecup tangannya dengan patuh sebagai imam-mu.
Dan malam ini aku menjadi laki-laki yang begitu dipenuhi ketidaksiapan menyaksikan cincin itu mengikat jarimu penuh cinta
Jari-jemari yang kemarin aku genggam begitu erat
Jari-jemari yang kemarin mengusap kepalaku ketika lelah
Jari-jemari yang kemarin sabar mencubitku ketika bercanda
Jari-jemari yang kemarin aku kecup penuh kasih
Dan semuanya harus (terpaksa) aku hentikan
Bukan aku tidak ingin melihatmu bahagia, bukan.
Yang menjadi kesesalanku adalah mengakui jika bukan aku lah yang menikahimu.
Aku rasa cinta yang aku punya tidak lah kalah besar dari dia yang kamu punya sekarang
Aku siap membahagiakanmu
Kelemahan serta kelalaianku lah yang mengakibatkan airmatamu menetes ratusan hari
Sampai akhirnya dia datang dan langsung meminangmu
Entah malaikat jenis apa yang membisikimu untuk menerimanya
Kamu tau, sayang?
Sampai saat kamu datang mengantar kabar pernikahanmu
Hatiku seperti tak di tempatnya
Pikiranku menangis
Duniaku gelap
Dan lidahku matirasa untuk mengucap selamat
Jika aku pernah tau penyesalan selalu datang belakangan ternyata aku belum cukup siap dihujani penyesalan yang begitu dalam
Dan esok,
Siap atau tidak siap, aku harus menyaksikan kamu bermanja dengannya di pelaminan.
Pernikahan adalah hal yang baik
Tapi ternyata ada saja hati yang tidak sepenuhnya menerima
Apa aku harus memelukmu seperti biasa saat kita dulu melepas rindu?
Atau aku harus hanya menjabat tanganmu seperti diawal perkenalan?
Atau aku harus membawa bunga kesayanganmu seperti saat kita baru saja selesai bertengkar?
Atau aku harus menampar wajahnya keras sebagai peringatan jika aku bisa saja menghajarnya lebih kuat andai dia bersikap buruk atasmu?
Aaah, rasa ini menyudutkan aku.
Rasanya seperti terlepas dari dunia sendiri
Jika saja aku bisa melewati hari pernikahanmu
Apa aku bisa menahan ketika berjumpa denganmu sedang bersamanya nantinya?
Padahal kamu tau,
Namamu lah yang aku minta pada Tuhan sebagai permaisuri di akhiratku
Namamu juga yang selalu aku selipkan di sekecil apapun Doaku
Pangkal dari segala akar semangatku
Tapi setelah ini, menatap matamu saja adalah hal yang terlarang bagiku.
Bagaimana mungkin aku bisa
Sementara kamu pernah menjadi mata ketika aku merasa gelap
Entah permainan macam apa yang digariskan
Jika akhirnnya namamu bukan bersanding denganku
Cerita kita belum selesai, sayang.
Sementara aku harus mengikhlaskanmu bukan untuk aku,
Melepasmu dalam sebuah pernikahan sembari mengakui aku lah yang kalah
Kini doaku harus ku perbaharui
Berbahagialah kamu bersamanya
Tunduk lah kepadanya selama dia taat pada Tuhanmu
Jagalah kehormatannya sebisa mungkin
Kamu lah perhiasannya
Tempatnya bercerita dan menumpahkan sepenuhnya cinta
Biar aku yang menyimpan ceritamu dalam perasaanku, biar lenyap dihabisi waktu.
Aku yang juga mencintaimu selain dia
Di dalamnya kamu masih kekasihku yang manja
Terimakasih jika kamu lah semangat terbesarku
Jika ternyata namamu bukan untukku
Setidaknya cintamu pernah tinggal di hatiku
0 Response to "Akhir sebuah kisah"
Post a Comment