Sebotol Nafas untuk Makmumku

Riasa sayang. Riasa yang berwajah manis dan terang. Aku tidak sedang ingin mengirimimu sebatang coklat berpita merah jambu. Aku juga tidak sedang ingin memberimu sekuntum bunga berwarna merah hati. Surat ini juga bukan surat cinta berisi kata-kata yang lugu dan sendu. Tak ada juga aroma parfum Perancis dan gambar dua tanda tanya yang bertangkupan. Aku menulis surat ini di saat malam sudah hamil tua, di tengah kesepian dan taburan bintang-bintang yang berwarna-warni di altar langit yang hitam keabu-abuan. Sepertinya hujan akan turun sebentar lagi, tapi aku tak peduli. Bahkan dingin yang menyesap tulang-tulangku terasa menenangkan dan menghangatkan.

Riasa yang cantik dan akan selalu cantik. Bersama ini kusertakan beberapa helai nafasku yang terengah dan detak jantungku yang menggantung di dinding-dinding sebuah botol kaca yang bening. Kusertakan pula sepasang kunang-kunang yang cahayanya berwarna merah saga. Biar saat malam tiba, ia berkerlap-kerlip di sudut kamarmu. Agar tak lagi ada kegelapan yang membuatmu ketakutan. “Barangkali cahaya kunang-kunang itu bisa menjadi pengganti lampu tidurmu,” pikirku saat itu.

Riasa yang manis, akan kuceritakan bagaimana aku bisa memasukkan helai napas dan detak jantung di botol kaca itu. Suatu hari, di tengah gerimis yang tipis dan angin yang menelusup di daun-daun, aku duduk di sebuah bangku di bawah cahaya kuning lampu taman kota. Tiba-tiba aku teringat namamu. Kutuliskan sebuah puisi di sebuah kertas yang setiap hari kubawa. Kata demi kata seperti mengalir begitu saja. Kata yang penuh kerinduan. Kata yang penuh keheningan, yang dingin dan beku. Lembar demi lembar kertas terisi dengan loncatan huruf-huruf yang satu dengan yang lain mencari pasangannya masing-masing. Huruf-huruf itu kawin dan mulai beranak pinak. Membuat suatu koloni yang membentuk deretan kata dan deretan kata membentuk baris-baris dan bait-bait. Dalam beberapa menit saja ratusan huruf dan puluhan bait sudah terlahir. Bagaimana jika satu jam? Satu hari?

Aku tak peduli dengan gerimis. Tintaku tak akan luntur jika hanya terkena gerimis. Hingga pada akhirnya, sebelum sempat puisi itu selesai, hujan deras menghunjam dengan penuh kesombongan. Tintaku tak diciptakan untuk melawan hujan. Kau tahu apa yang terjadi? Puisi-puisi yang hampir jadi itu tak hanya luntur. Hujan membuatnya menjadi seperti bubur hingga tak ada satu hurufpun yang tersisa. Maafkan aku, sebab aku tak sempat menyimpannya kembali di dalam tasku.

Nafasku mulai terengah menahan marah. Detak jantungku berdegup kencang. Aku tak pernah mengerti kenapa nafas ini seperti sedang kehilangan sesuatu. Bukankah hanya sebuah puisi yang hilang? Ah. Tidak, Sayang! Yang kutulis bukan sekadar puisi. Puisi tak cukup untuk bisa menyampaikan kata-kata yang tak sempat kutuliskan dan kubacakan padamu. Puisi tak akan pernah bisa mewakili kata hati dan juga ketulusan serta keikhlasan. Tidak semua orang suka puisi dan tidak semua orang mau membacanya. Mungkin bisa jadi kau adalah salah satu dari yang banyak itu. Aku tak akan memaksamu untuk suka dengan puisi. Aku juga tak akan membiarkan puisi memaksamu untuk bisa jatuh cinta padaku. Biarkanlah cinta itu datang melewati jalan yang memang sudah ditentukan. Jalan yang mungkin saja terjal dan penuh kerikil tajam. Aku tak tahu. Sebab yang ada dipikiran hanyalah kemungkinan-kemungkinan.

Dari kejauhan, kulihat seorang lelaki dengan baju compang-camping mendekat ke arahku. Dari penampilan yang seperti itu, aku menebak dia adalah orang gila. Tapi benar kata orang, jangan lihat seseorang dari penampilan luarnya saja. Riasa, ternyata meski dia tampak gila nyatanya dia tak gila seperti yang kukira. Bahkan lebih waras dariku. “Masukkan nafas-nafasmu di botol ini!” Tangannya yang dekil itu menyodorkan sebuah botol yang terbuat dari kaca. Aku sempat berpikir lagi bahwa lelaki ini gila. Bagaimana mungkin kumasukkan helai nafas-nafasku di botol ini? Untuk apa juga memasukkannya?

“Helai nafasmu lebih bisa mengungkapkan segalanya dari pada kata-kata yang maknanya dan artinya bisa berubah di setiap kepala yang berbeda. Kata-kata bisa berdusta, tapi helai nafas tak akan pernah mau berdusta,” orang yang kukira gila ini mulai menceramahiku.

Ia lantas pergi begitu saja tanpa menoleh ke belakang. Aku yang masih marah dengan nafas terengah, kembali sendirian. Kau harus percaya ini sayang. Botol itu menyedot setiap nafasku yang berjejalan keluar dari hidung dan mulut. Kulihat mereka menempel di dinding-dinding botol itu. Aku bahkan bisa mendengar desir suaranya membacakan puisi yang kubuat untukmu. Tak lama sepasang kunang-kunang dengan bokong bercahaya keemasan menghampiri. Tanpa basa-basi mereka masuk ke dalam botol yang masih ada di tanganku. Aku tak menyuruh mereka masuk sayang. Dengan sedikit enggan mereka berbicara, "Biarkan kami yang mencahayai malam yang gelap dan menularkan kesepian serta ketakutan pada makmummu itu. Usah kau risau." Aku tak habis pikir sayang. Siapa yang mengirimkan mereka? Ah! Tapi aku tak peduli. Setidaknya mereka sudah mengikrarkan janji untuk menerangi malam-malammu. Sebab aku tak akan lagi bisa menjadi cahaya malammu, aku tak lagi mampu memberikan cahaya keemasan yang selama ini menemani malam-malammu.

Riasa yang tercinta dan akan selalu kucinta. Botol di tanganku kututup rapat-rapat. Aku lalu beranjak pulang. Bukan. Bukan pulang ke rumah, tapi pulang ke alam yang berbeda. Kau tak akan lagi bisa melihatku, meski hanya dalam mimpi. Aku tak ingin datang ke mimpimu sebab tak mau kau semakin memikirkan dimana keberadaanku, sedang apa aku dan dengan siapa aku. Percayalah. Aku tak sedang dan tak ingin dengan siapa-siapa. Aku menunggumu di sini. Menunggu dengan keyakinan akan datangnya hari perjumpaan setelah datangnya perpisahan. Dengarlah sayang, perpisahan bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan. Tidak ada perpisahan yang abadi sayang.
Percayalah.



'Batang,280217'

0 Response to "Sebotol Nafas untuk Makmumku"

Post a Comment