Cerpen, Cerita Cinta Galau


Suamimu Idamanku

Aku pergi menghadiri sebuah pesta pernikahan rekan kerjaku di sebuah hotel berbintang di Ibu kota. Aku menghadiri acara tersebut seorang diri. Ya seorang diri karena aku seorang janda. Janda yang ditinggal pergi suami karena lebih memilih wanita lain. Usia pernikahan yang hanya berjalan lima bulan membuatku menjadi janda dalam usia yang terbilang masih muda 23 tahun.

Sejak memasuki ruangan tempat di mana acara berlangsung, aku memperhatikan sosok sepasang suami istri yang berjalan begitu mesra. Sang istri menggandeng lengan suaminya seakan tak mau terpisahkan. Bahkan saat mereka makan pun terlihat begitu bahagia. Benar-benar pasangan suami dan istri yang begitu sempurna.

Tak lupa mereka mengabadikan momen kebersamaan mereka melalui ponsel dengan berselfie dan wefie ria. Ah, aku sungguh iri. Aku bahkan tidak pernah merasakan hal seperti itu dengan mantan suamiku dulu.

***

Pernikahan kami terjadi atas dasar perjodohan orang tua dan keluarga besar kami. Ayah mertuaku merasa mempunyai hutang budi pada sahabatnya yang tak lain ayahku. Mereka menginginkan hubungan silahturahmi keluarga kami terus berlanjut meskipun ayahku sudah meninggal dunia. Pernikahan itu pun tetap terjadi atas desakan dari ayah mertuaku. Mantan suamiku sendiri tidak pernah menyetujui perjodohan itu.

Selama aku menikah dengannya hubungan kami tidak terlalu baik, dia sama sekali tak pernah menyentuhku meskipun kami tidur dalam satu kamar. Aku tidur di ranjang, dia tidur di sofabed. Fuh ... begitulah pernikahan singkat yang kujalani.

Saat aku berkorban berusaha sepenuhnya menjadi istri yang baik tapi apalah daya dia tidak bisa mencintaiku. Yang ada di hatinya hanyalah mantan kekasihnya sejak kuliah, yang kutahu masih menjalin hubungan diam-diam dengan Mas Fathan, mantan suamiku.

Akhirnya perceraian antara aku dan Mas Fathanpun terjadi, satu minggu setelah meninggalnya ayah mertuaku karena sakit ginjal yang dideritanya. Tak ada lagi orang tua yang akan membelaku, karena saat ini kami sama-sama yatim piatu.

"Kita berpisah aja ya, Ning." ujar Mas Fathan mendekatiku yang masih duduk bersimpuh menangis di ranjang.

Semua sanak keluarga sudah kembali setelah acara pengajian tujuh hari meninggalnya ayah mertuaku. Aku tahu hal ini pasti akan terjadi, untuk itu aku sudah menyiapkan diri secara fisik dan mental.

"Aku tau kita sama-sama enggak bahagia atas pernikahan ini. Aku sama sekali enggak bisa mencintai kamu. Aku pingin kamu juga bisa bahagia, Ning. Ini surat cerai kita, kamu tinggal tanda tangan di situ. Aku sudah mengurus semuanya. Termasuk jatah uang buat kamu. Aku langsung kasih semua sekarang Ning kalo kamu setuju. Karena aku akan menikah lagi dan aku enggak mau istriku nanti tau aku memberimu uang." Mas Fathan berkata panjang lebar tanpa menghiraukan perasaanku, tanpa menoleh sedikitpun padaku yang sudah berurai air mata.

"Apa aku sama sekali enggak ada artinya buat kamu, Mas? Aku harus kemana saat kedua orang tuaku sudah enggak ada. Seharusnya suami yang ada di sampingku menjadi tumpuan hidupku tapi malah menyuruhku pergi dari kehidupannya." Aku terisak membayangkan hidup seorang diri tanpa suami.

Ayah dan Ibuku bukanlah orang kaya, tidak juga terpandang. Tapi hidup kami tidak pernah kekurangan. Aku masih bisa berkuliah di Universitas ternama di Ibu Kota. Tapi setelah tamat kuliah aku belum pernah bekerja sama sekali karena orang tuaku langsung menjodohkan aku dengan Mas Fathan.

Aku masih berpikir keras apa yang akan kulakukan setelah bercerai nanti. Melamar kerja sana sini belum tentu cepat dapat. Dan aku juga harus menyewa rumah, rumah orang tuaku dulu sudah lenyap tak berbekas dilahap si jago merah tepat tiga hari setelah hari pernikahanku yang menewaskan Ibuku. Sakit sekali jika mengingat kejadian itu.

"Maafin aku, Ningsih. Dari awal pernikahan kita memang seharusnya enggak boleh terjadi. Aku masih menjaga hatiku buat Fiona, hanya dia yang aku cintai sejak dulu. Dan aku enggak mau buat dia nunggu lebih lama lagi. Soal tempat tinggal, aku udah membeli sebuah apartemen yang bisa kamu tempati. Ini kunci dan surat-suratnya. Aku udah berusaha memberi yang terbaik buat kamu, Ning. Aku harap kamu bisa ngertiin aku." Mas Fathan setengah memohon sambil menyerahkan kunci, buku tabungan dan surat kepemilikan apartemen.

Aku bergeming kembali berpikir. Setidaknya aku tidak harus mengkhawatirkan tempat tinggal lagi, aku juga ada tabungan dari Mas Fathan yang bisa kugunakan untuk modal. Ah, ya sudahlah mungkin ini sudah nasib bagianku. Lebih baik kuterima sajja, lagi pula aku masih muda. Tidak mengapa jadi janda kembang. Ahay ....

"Baiklah Mas, aku setuju. Makasi buat semuanya. Moga aja kamu bahagia. Mulai malam ini aku keluar dari rumah ini. Kamu bisa membawa Nyonya rumah baru ke rumah Ayah ini. Moga arwah Ayah tenang di sana." ucapku sambil beranjak dan membasuh air mataku.

Kulihat Mas Fathan terkesiap mendengar ucapanku. Mungkin dia takut kena karma dari Ayah. Hihi ..., tiba-tiba Mas Fathan menarik tanganku untuk yang pertama kali mungkin juga yang terakhir. Lalu Ia menarikku ke dalam pelukannya.

"Makasi Ning, sekali lagi makasi. Maafin aku dan berbahagialah. Temukan seseorang yang juga bisa mencintai kamu." ucapnya memelukku dan menepuk-nepuk punggungku.

Aku kaget, jantungku berdegub kencang dipeluk Mas Fathan.

"Hem ... tenang aja Mas, aku masih muda masa depanku masih panjang. Aku pamit dulu, terima kasih." sahutku berlalu melepaskan diri dari pelukannya. Sakit.

Setelah malam itu, aku menjalani hari-hari seorang diri sambil melamar pekerjaan. Tidak butuh waktu lama setelah tiga bulan dari perpisahanku dengan Mas Fathan aku diterima bekerja di salah satu perusahaan di Ibu Kota. Bermodal ijazah lulusan Sarjana Ekonomi, aku diterima bekerja di bagian keuangan di perusahaan itu.

***

Baca juga : Sepotong senja untuk Kekasihku

"Ningsih, sendirian ajanih." sapa seseorang mengejutkanku. Ternyata Karen teman satu kantorku.

"Eh, iya nih Ren. Mau sama siapa lagi." Aku tersenyum.

"Hehe ... kirainngajak siapa gitu?"

"Siapa? Mau ngajak cowok lo tapi gue kagak berani."

"Eh, ampun dah. Udahgue enggak bakal godainlo lagi deh, Ning. Haha ...." Karen menyerah menggodaku.

Aku ngikik perlahan.

"Eh, Ren. Lo tau enggak tuh siapa? Kayak orang penting gitu, dari tadi dikerumunin orang mulu." tanyaku pada Karen sambil menunjuk pasangan yang membuatku baper plus iri tadi.

"Oh, itu masa lo enggak tau sih, Ning? Itu kan Kepala Pimpinan Cabang perusahaan kita. Pak Hendri Handoko dan istrinya Bu Amanda Raisa. Emangkeliatannya serasi ya, tapi istrinya terkenal kurang ramah suka nganggep remeh orang. Sama itu, udah lima tahun nikah tapi belum punya anak juga." Karen memberitahuku komplit nyerocos mirip kereta api.

"Oh ...." Hanya kata itu yang keluar dari bibirku.

"Iya, udah dulu ya Ning. Boby udahmanggilguetuh." Karen berlalu pergi mendekati Boby yang sudah menunggunya ikut bergabung bersama teman-temannya.

Acara StandingParty ini lumayan membuat kakiku pegal. Kadang heran sendiri masa iya orang kaya nikah di hotel berbintang tapi tidak menyediakan kursi untuk para tamu. Sungguh menyedihkan bukan. Haks ....

Setelah mengisi perut dengan beraneka makanan yang tersaji, aku pergi ke toilet untuk sekedar merapikan riasan wajahku. Saat akan memasuki toilet, aku berpapasan dengan Ibu Amanda istri Pak Kepala Cabang tadi. Harum parfumnya menusuk hidungku, sangat menyengat tapi aromanya menenangkan terkesan parfum mahal.

Penampilannya begitu elegan, dengan baju pesta berkelas dan dandanan yang nyentrik tapi tetap cantik. Tubuh tinggi langsing dan wajah khas keturunan Sunda. Dengan sepatu dan tas bermerk. Ah, semakin membuat iri saja.

"Haduh, apaan sih. Kok gue jadi kalap gini." Huft ....

***

Senin merupakan hari terpenat buat beraktifitas kembali setelah weekend. Pantas saja ada istilah I hatemonday. Dan aku mengalaminya sejak bekerja beberapa bulan terakhir ini.

Aku tiba lebih awal dari rekan kerjaku. Ruanganku masih kosong belum ada yang datang. Kuisi waktu dengan membuka akun medsosku di PC kantor yang terhubung langsung ke internet untuk memudahkan kinerja kami. Tapi terkadang digunakan untuk hal-hal tak berguna seperti yang aku lakukan. Hihi ..., Kulihat ada beberapa postingan foto yang menandai akunku. Foto di acara pesta pernikahan rekan kerjaku kemarin. Foto-fotonya terlihat lucu.

Tanpa kusadari, ada beberapa komentar di akun Karen yang postingan fotonya ditandai oleh Ibu Amanda Raisa. Aku menjadi tertarik untuk menstalking akunnya. Kulihat postingannyadishare ke publik semua. Jadi walaupun aku tidak berteman di akunnya tetap bisa melihat postingannya.

Semua postingannya kebanyakan foto-foto selfie bersama suaminya. Semua kegiatan hariannya selalu diposting ke medsos.

[Shopping bareng ayankbebeb. Mau minta dibeliin apa ya?]

Statusnya hari sabtu kemarin, lengkap dengan postingan foto berdua di dalam mobil dengan bibir yang dimonyong-monyongin ditempel ke pipi dan merangkul suaminya, Pak Hendri Handoko.

Aku menggulir lagi si mouse cantik semakin penasaran. Kulihat foto-foto Pak Hendri Handoko begitu tampan dan rupawan, kulit putih bersih dengan rambut lurus potongan pendek sedikit berjambul di depannya. Hidung tinggi mancung dengan kumis tipis. Ah, meleleh rasanya. Usianya baru tiga puluh tahunan. Benar-benar pekerja keras yang sudah meraih sukses di usia yang maasih muda.

[Ayang bebebku ketagihan nih *emot senyum malu-malu] caption sebuah foto di kolam renang yang sedang berangkulan. Ah .... semakin gerah saja melihatnya.

Tiba-tiba, Pardi cleaningservice ruanganku datang mengangetkanku dengan membawa senampan minuman hangat teh, kopi hitam, dan kopi susu sesuai dengan selera masing-masing karyawan. Setelah meletakkan minuman tersebut, Ia berlalu pergi.

Ah, aku membenturkan kepala perlahan di meja kerjaku. Semakin iri, kesal melihat foto dan postingan di akun Ibu Amanda. Entahlah, apa yang kurasa. Aku juga hanya ingin bahagia seperti mereka. Ini hanya bentuk sebuah rasa kecewa dari pernikahan yang hampa. Terbesit sebuah pikiran jelek dalam kepalaku.

[Mbak, suaminya cakep banget, baik, perhatian, penyayang, romantis dan pinter cari duit lagi. Tolong dong, bilanginama suaminya. Saya siap jadi istri keduanya. Janda kembang nikah lima bulan terus pisah. Baru 23 tahun nih, ngejanda belum nyampe setahun. Segel masih utuh. Siap kasih baby. Makasi.]

Aku ingin mengirimi Ibu Amanda pesan meminta izin untuk jadi istri kedua suaminya, juga memberinya keturunan seperti yang mereka yang rindukan. Tapi, aku bukan orang seperti itu.

Namun, aku tidak bisa berjanji jika setan sudah menggoda hati melupakan jati diri. Mungkin khilaf bisa terjadi. Aku menertawai diri sendiri. Aku tidak buruk rupa, setidaknya itu yang kurasa.

Sebegitu menyedihkannyakah diriku hingga jadi seperti ini. Entahlah yang kumau hanya ingin bahagia tanpa embel-embel rasa kasihan dari makhluk seorang pria. Bijaklah menggunakan Social Media, karena hati seorang Pelakor bisa iri kapan saja tanpa mengenal tempat.


Popular Post : Cerita Cinta Yang Sangat Romantis

END