Merelakanmu Bersamanya
Wadah angan-angan semakin terisi penuh, kini ketinggian mereka seperti tak terengkuh. Di dalamnya, ada kita dengan indah cerita yang tak mungkin dijadikan nyata. Di dalamnya, ada aku yang begitu bahagia. Di dalamnya, ada kamu yang sedang jatuh cinta. Namun, mimpi memang tidak bisa bertahan terlalu lama. Karena aku perlahan menyadari bahwa cerita kita memang tak akan pernah ada. Semesta sedikit demi sedikit mengirimkan hujan kenyataan, agar aku bisa berhenti menciptakan khayalan di luar jangkauan.
Siapa sebenarnya yang berperan sebagai tokoh antagonis hingga tak jarang aku menangis? Aku sendirikah yang terlalu jahat memberi seutuhnya hati untuk rela disakiti? Atau dia yang tak mampu menjaga hatiku dengan hati-hati sampai retak berkeping seperti ini? Menjaga? Ah aku salah lagi.
Dia memang tak pernah benar-benar mau memiliki. Ekspektasiku saja yang terlalu malas menginjak bumi, ia terlalu tinggi. Cerita-cerita kita yang kukira akan sempurna, ternyata tak berakhir bahagia. Yang kutahu tentang masa depan itu kamu, tapi malah kamu yang menyuruhku untuk tetap berpijak saja pada masa lalu dan berhenti di situ.
Yang kutahu tentang perjuangan itu kita, tapi ternyata hanya aku yang berusaha. Bagaimana bisa? Bagaimana caranya membuatmu melihat apa yang kulihat sementara kita sama-sama telah buta akan tujuan yang berbeda?
Hingga akhirnya hati kecil membujuk untuk aku segera merelakan. Bukan suatu hal yang sulit, hanya mungkin butuh waktu. Butuh waktu yang tak sebentar bagi hati untuk merapikan serpihan demi serpihan. Butuh waktu yang tak sebentar bagi diri untuk menerbangkan segenggam kemungkinan-kemungkinan. Butuh waktu yang tak sebentar untuk menyadari, bahwa satu-satunya jalan adalah dengan membiarkanmu pergi. Ialah aku, dengan tanpa keberanian untuk mengaku. Ialah aku, yang menyerah sebelum benar-benar memperjuangkan.
Kau tahu, aku seperti mengejar kereta yang tak pernah kutahu akan tiba. Aku seperti memperjuangkan yang belum mau diperjuangkan karena buatnya aku pun belum pantas diistimewakan. Mungkin lain kali bukan objeknya yang harus kuperjuangkan, tapi kesetaraan perasaan.
Hingga akhirnya hati kecil membujuk untuk aku segera merelakan. Bukan suatu hal yang sulit, hanya mungkin butuh waktu. Butuh waktu yang tak sebentar bagi hati untuk merapikan serpihan demi serpihan. Butuh waktu yang tak sebentar bagi diri untuk menerbangkan segenggam kemungkinan-kemungkinan. Butuh waktu yang tak sebentar untuk menyadari, bahwa satu-satunya jalan adalah dengan membiarkanmu pergi. Ialah aku, dengan tanpa keberanian untuk mengaku. Ialah aku, yang menyerah sebelum benar-benar memperjuangkan.
Kau tahu, aku seperti mengejar kereta yang tak pernah kutahu akan tiba. Aku seperti memperjuangkan yang belum mau diperjuangkan karena buatnya aku pun belum pantas diistimewakan. Mungkin lain kali bukan objeknya yang harus kuperjuangkan, tapi kesetaraan perasaan.
Awal yang menggebu, ternyata meninggalkan sisa-sisa rasa yang dinilai tak bermakna seperti abu. Tapi aku ingin menerbangkannya, mungkin agar bisa sedikit saja kau merasakannya. Meski aku tahu, untuk merasa saja takkan bisa mengubah apa-apa. Pun kepemilikan hatimu yang telah dipegang oleh dia. Aku berserah pada Tuhan Sang penentu arah. Aku melambaikan tangan pada kamu yang bersiap masuk dalam kolom masa lalu.
Nyatanya tidak perlu ada perjuangan. Sebab hatimu telah ada yang memenangkan. Sebagai pihak yang mengalah dan sudah mengaku kalah, kemudian aku mengubah arah. Meski hati sepenuhnya masih ingin menujumu, namun kenyataan menyadarkan bahwa rasa kita tak bisa saling temu.
Nyatanya tidak perlu ada perjuangan. Sebab hatimu telah ada yang memenangkan. Sebagai pihak yang mengalah dan sudah mengaku kalah, kemudian aku mengubah arah. Meski hati sepenuhnya masih ingin menujumu, namun kenyataan menyadarkan bahwa rasa kita tak bisa saling temu.
Kukantongi bahagiamu dengannya, supaya aku akan tetap ingat bahwa aku boleh berada pada kondisi yang sama. Karena seharusnya tidak hanya hari-harimu yang indahnya tanpa jeda, tapi milikku juga.